Asal - Usul
Sebelum era
Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad
telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama besar
itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam
di sekitar daerah Cirebon.
Al-Kisah,
putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan
adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu
terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan
agama Islam. Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam
demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Tapi mimpi itu
hanya terjadi tiga kali. Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk
air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam.
Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda
disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon.
Mereka
mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi,
mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi
keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi. Pangeran Walangsungsang dan
adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada
Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati.
Setelah
berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan
oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati.
Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya
hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari
banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang.
Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh
dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang
menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak
pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah
pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut
Caruban. Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian
besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya
menjadi petis yang terkenal. Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai
Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang
ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di
perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.
Di Kota Suci
Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama
Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama. Sewaktu mengerjakan tawaf
mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir
bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir
itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah
ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh
Bayanillah. Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka
dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang
kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif
Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir
selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban
Larang.
Negeri
Caruban Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola
pemerintahannya menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai
dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati. Dalam waktu singkat Negeri
Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu
Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru
tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau
hatinya kurang berkenan.
Sang Prabu
akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu
memberinya gelar Sri Manggana. Sementara itu dalam usia muda Syarif
Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan
kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh
tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di
Jawa Barat.
Kedudukan
ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah. Sewaktu
berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar
didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka
ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sering kali
terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah
adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian
disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang
dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah
Portugis.
Bukti bahwa
Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada
tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah
orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di
negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di
Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira
oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan.
Dengan alasan
agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan
tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarifah Muda’im dan putranya yaitu
Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren
Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan
sebutan Sunan Gunungjati.
Tibalah saat
yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati
dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya
sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada
Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung
ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi.
Sang Prabu
diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau
masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah
Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang.
Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari
Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan
Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten.
Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra
yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam
di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja
sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di
Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak.
Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah
mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang
pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon
tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat
Kadipaten Galuh.
Tindakan ini
dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli
siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan
prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap
Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja
tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak
buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi
pengikut Syarif Hidayayullah.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti :
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang
besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri
Tiongkok.
Salah
seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang
berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri
Cina makin erat. Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan
kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang
pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang
Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal
ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia
perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu
Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta
benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong
Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan
di tempat yang aman.
Istana dan
Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan
dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480
atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan
masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga
ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga
mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan
ummat.
Selesai
membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas
pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa
menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan
wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun
1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan
kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk
menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam
kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau
Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak
membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur
mendirikan benteng yang kuat di Malaka.
Ketika
Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama
Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi
mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di
Tanah Jawa. Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh
Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah
pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan
pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang
sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden
Patah yang ketiga.
Di dalam
pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima
Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang
pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat
senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon.
Pasukan
gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah
Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena
Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin
luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran
yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya. Mengapa Pasukan
gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan
Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka
diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.
Pengalaman
adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah
Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia
dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu
membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali
ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya.
Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu
sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena
Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking.
Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar
Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda
Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan
Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah
Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.
Berturut-turut
Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai
raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak
meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat
dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat
membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam
peperangan itu. Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya
Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati
menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu.
Sementara
kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki
Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat
putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan
gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut
Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.
Sunan
Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau
Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran
Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan
kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana
Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap
digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu
Adipati Carbon I.
Adpati
Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon
oleh Sunan Gunungjati. Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.
Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya,
dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun
kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama,
makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.









